oleh : N Alfian A
(Alumni MA Salafiyah angkatan 2010)
Sejauh ini geliat sastra di tanah air telah mengalami kemajuan. Hal itu terbukti bahwa hampir setiap hari, penerbit menerbitkan novel, antologi puisi, buku bahkan media cetak yang notabennya ada kolom sastranya. Belum lagi ditambah geliat komunitas-komunitas di berbagai daerah, yang tiap harinya nguri-nguri sastra, baca puisi, maupun bermain drama.
Geliat komunitas dalam nguri-nguri sastra di negeri ini sangat luar biasa. Justru berbanding terbalik dengan geliat sastra disekolah. Sejauh ini anak-anak didik di sekolah belum sepenuhnya tahu secara mendalam mengenai sastra. Mereka hanya dikenalkan karya sastra yakni puisi, novel maupun drama. Hal itu disebabkan karena pemerintah belum tahu betul dengan sastra. Mungkin mereka mengira di dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, anak didik akan tahu sastra. Padahal bahasa dan sastra itu sangat berbeda. Harusnya sastra di bedakan dalam mata pelajaran di sekolah. Kalau peserta didik mendapat mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, yang sekarang di bedakan menjadi Fisika, Biologi dan Kimia. Harusnya mata pelajaran mengenai Kebahasaan di kembangkan menjadi mata pelajaran Bahasa dan Sastra.
Meskipun keberadaan sastra tidak dapat dipisahkan dari bahasa, tetapi keduanya merupakan dua hal yang berbeda. Berbeda bentuk, sifat maupun fungsinya. Masing-masing memiliki otoritas sebagai ilmu, sarana maupun sebagai produk budaya. Buktinya, setiap orang mampu berbahasa tetapi belum tentu juga mampu bersastra.
Sempitnya sastra di sekolah mungkin disebabkan oleh berbagai faktor. Seharusnya pemegang kebijakan mengenai masalah kurikulum harus tahu akan hal ini. Sudah saatnya progress pengembangan sastra di sekolah diterapkan dengan baik. Mulai mengenal teori sedikit demi sedikit, mengenalkan model karya sastra, bahkan sampai analisnya. Dan hal itu harus ditunjang dengan pengajar yang berkompeten akan hal ini. Karena hampir kebanyakan guru pengampu bahasa Indonesia kurang tahu betul mengenai sastra.
Sudah seharusnya guru bahasa di sekolah yang memegang arus tonggak sastra di sekolah. Memberi contoh pada siswa-siswa untuk bersastra dengan baik. Membaca dan menulis karya sastra. Syukur-syukur sang guru membuktikan dengan karya sastranya yang diterbitkan di media massa, atau bahkan diterbitkan penerbit. Memberi informasi perkembangan sastra secara mendalam. Sehingga siswa tertarik belajar sastra dengan baik.
Guru sastra/bahasa harus mampu menunjukkan proses kreatif dalam menciptakan karya sastra, memberi contoh dengan menulis atau membaca puisi dengan baik, menuangkan ide cerita untuk diproses menjadi karya yang menawan. Serta bisa menghidupkan suasana kelas dengan suguhan karya yang bikin siswa seolah-seolah menikmati sastra di panggung teater. Itulah seharusnya peran guru bahasa menjadi sastrawan di sekolah.
Melihat persoalan negeri yang masih kacau bahkan sudah mengalami masa pesakitannya. Korupsi hampir setiap hari tersaji dalam media massa. Sudah saatnya sastra akan menjadi solusi yang baik. Ketika kondisi bangsa mulai kacau hanya karena retorika murahan. Kembali pada naskah-naskah sastra merupakan langkah alternatif. Karena didalam naskah-naskah kita akan berjumpa dengan makna dan ingin mencari tahu artinya. Maka dari itu sastralah jawabannya.
Kita bisa membaca sebuah realitas kalau kita mengerti maksud dan maknanya. Kalau ada sebuah penduduk atau bangsa yang tidak tahu akan makna itu sendiri, berarti bukan mustahil itulah yang dimaksud “bangsa tanpa sastra”.
Maka dari itu, kalau sastra dikategorikan hanya sebuah karya (puisi, novel, drama) tanpa mengenal maknanya, itu sama halnya belajar tanpa buku. Seorang hanya bisa berucap tanpa mengerti maksut apa itu maknanya. Sungguh ironis kalau remaja sekarang tidak tahu sastra. Mereka akan hanya bisa beretorika tanpa mengerti apa yang dimaksudnya.
Penyempitan-penyempitan sastra di ruang sekolah harus segera di atasi. Melihat perkembangan global yang luar biasa. Bukan mesti menghilangkan rasa sastra itu sendiri. Malahan itu akan menunjang sarana untuk mengekplorasi sastra dengan baik. Hampir di tiap internet, kita akan tahu kaedah-kaedah sastra, penelitian-penelitian mengenai sastra beserta analisisnya, bahkan menengok geliat komunitas sastra di internet bukan hal susah.
Sudah seharusnya sastra tersalurkan dengan baik di sekolah. Siswa-siswi membaca, menulis, bahkan main drama dengan baik. Tanpa meninggalkan esensi sastra itu sendiri. Ketika siswa sudah suka dalam dunia sastra, bukan mustahil lagi kalau siswa akan suka membaca dan menulis. Karena sastra akan selalu berkaitan dengan hal itu. Dengan membaca kita tahu makna, dan dengan menulis kita berkata.
Yogyakarta, 9 Februari 2014, 23.12 WIB
dimuat di koranmuria.com, 11 februari 2014