Situs Resmi Yayasan Salafiyah Kajen

– Artikel –

Bangkitkan Negeri dengan Santri
*Penulis: Karisma Lutfiana Nurul Fadila

Eksistensi pesantren di tengah arus modernitas saat ini tetap signifikan. Kebiasaan dan tradisi di pesantren tidak lepas dari santri dan kyai sebagai objek jalannya sistem pendidikan yang diselenggarakan. Pendidikan di pondok pesantren secara umum adalah mewujudkan masyarakat yang memliki tanggung jawab tinggi di hadapan Allah SWT sebagai khalifah sehingga harus memiliki sikap, wawasan, pengamalan iman, dan akhlaqul karimah serta nilai–nilai luhur yang dimiliki. Implementasi hal tersebut tidak hanya kepada Allah semata sebagai wujud hubungan makhluk secara vertikal (hablumminallah) melainkan juga hubungan antar sesama makhluk secara horizontal (hablumminannas).
Santri memiliki beberapa kelebihan, khususnya pengetahuan dan kecerdasan di bidang spiritual dan akhlak. Karena dengan sistem pembelajaran yang sudah diterapkan di pesantren santri telah dididik dan dibimbing agar mampu menjawab segala persoalan dan tantangan di masa depan. Hingga saat ini keberadaan santri sangat diharapkan mampu menjadi pendongkrak dalam pembangunan di era milenial. Di era yang serba praktis generasi muda penerus bangsa mengalami degradasi moral sedikit demi sedikit dilihat dari partisipasinya dalam membangun negeri, contohnya mereka sibuk dengan gadget dan media sosial tapi tidak peduli dengan pemasalahan sosial di sekitarnya, bahkan mereka lebih peduli dengan gosip-gosip artis dan hoaks serta mengutarakan komentar-komentar yang dapat menimbulkan kesenjangan dengan pihak yang bersangkutan.

Dengan adanya pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan islam yang asli dari Indonesia yang berperan sebagai wadah pengajaran berbasis islam dalam membina, mencerdaskan, dan mengembangkan masyarakat melalui para santri. Dalam sambutan pada salah satu acara seminar nasional bertajuk “Pesantren Kepemimipinan Nasional dan Masa Depan Indonesia”, Dr. H. Affandi Mochtar, M.A., mengatakan “Pondok pesantren memiliki andil besar bagi perjungan kemerdekaan Republik Indonesia sampai sekarang sekaligus berperan besar bagi pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan pendidikan Indonesia”. Terbukti ketika negara berada dalam penjajahan Belanda, kiai dan santri membentuk tentara Hizbullah untuk melawan penjajah, bahkan seorang Jendral Besar yaitu Jendral Sudirman lahir juga dari pesantren.

Generasi milenial saat ini harus terus dibina dalam segi keseluruhan mulai dari kemampuan diferensial dan distinctive menghadapi perkembangan perubahan global. Hal ini disebabkan generasi tersebut terlahir dimana dunia modern dan teknologi canggih diperkenalkan publik. Istilah milenial sendiri dilekatkan pada suatu generasi yang dianggap berbeda karena generasi milenial adalah generasi yang berumur 17-37 pada tahun ini. Dengan kecanggihan teknologi yang berkembang pesat telah dimanfaatkan oleh semua komponen masyarakat tidak hanya bagi lapisan masyarakat berusia dewasa namun, juga merambah pada remaja bahkan anak–anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar dan Taman Kanak–Kanak.
Santri bukan hanya seorang yang memiliki intelektual yang tinggi tapi juga sosok yang mempunyai kecerdasan spiritual di atas rata-rata. Ilmu yang diperoleh dari pesantren untuk bisa berpandangan jauh ke depan tentang bagaimana membangun masyarakat. Tidak lepas dari aturan yang diberlakukan dalam pesantren yaitu belajar mengaji, menghafal, hingga mengikuti aktivitas pondok yang bertujuan menciptakan kader santri untuk bisa belajar istiqomah sehingga tidak terlepas dari hal–hal yang dapat membuat malas dan tidak fokus.
Tidak semua santri berpandangan jauh ke depan atau berupaya mengamalkan segala keterampilan intelektualnya di segala bidang pada saat mereka sudah keluar dari pesantren. Sering kali kita jumpai sebagian besar santri beranggapan bahwa hanya ilmu yang telah dipelajari di pesantren saja yang akan bermanfaat di kehidupan mereka selanjutnya. Seharusnya mereka paham bahwa tugas sebagai generasi milenial tidak hanya mengamalkan ilmu yang terdapat dalam kajian di pesantren tetapi juga harus mampu membaca kalam kauliah maupun kalam kauniah yang ada disekitar kita secara optimal dengan pemikiran yang kontemporer. Pentingnya memahami segala sumber ilmu bagi santri justru menjadi peluang yang sangat berharga karena di pesantren telah menyediakan pendidikan formal maupun non formal.
Keberhasilan pesantren dalam menciptakan sosok santri yang handal terus digalakkan agar bisa bersaing dengan kemajuan zaman. Peran santri dalam pembangunan sudah tidak diragukan lagi. Banyak hal yang telah santri curahkan demi bangsa ini serta tidak sedikit pula santri yang menjadi sosok pemimpin saat ini. Keberhasilannya paling tidak dapat dilihat dari banyaknya pemimpin di negeri ini yang dilahirkan dari pesantren seperti Syaifuddin Zuhri (Mantan Menteri Agama), Khofifah Indar Parawansa (Menteri Sosial dan Pemberdayaan Perempuan), Abdurrahman Wahid (Mantan Presiden RI yang ke-4), dan masih banyak lagi. Terbukti pada masa perjuangan kemerdekaan sosok santri dalam kontribusinya melalui pemikiran pemikiran ataupun dengan angkat senjata langsung yang telah membuahkan hasil.
Banyak alasan mengapa santri menjadi salah satu modal dasar yang akan menjawab tantangan bangsa, di samping karena metode pengajaran santri juga memiliki sikap atau pola pikir yang telah ditanamkan sejak di pesantren dengan metode pengajaran berlandaskan rukun agama yaitu iman, islam, dan ihsan. Bagi santri memiliki akhlaqul karimah sudah seharusnya sebagai kewajiban atas apa yang sudah mereka biasakan.
Untuk menjawab tantangan–tantangan yang semakin memuncak, karakter santri dapat diwujudkan dengan berbagai prinsip yang telah mereka pegang sebagai komitmen diri diantaranya sikap seimbang dalam menghadapi berbagai macam persoalan. Disikapinya dengan pola yang terukur, terarah, terkonsep, dan tersusun dengan metodologi yang bisa dipertanggungjawabkan. Berani menyatakan yang haq itu adalah haq dan yang bathil itu adalah bathil walaupun terhadap orang lain yang berbeda agama, ras, suku, dan kebangsaannya serta dapat hidup berdampingan dengan warga ataupun komunitas lain. Hal tersebut terangkum dalam empat prinsip dasar Annadhliyah yaitu tawassuth, tawazun, al-i’tidal, dan tasamuh.
Di dalam naungan pesantren santri hidup dan terus digembleng tentang arti solidaritas, tenggang rasa, dan kebersamaan, memperoleh piwulang integral dari soal moral sampai keterampilan hidup (life skill). Pengajaran pada santri tidak hanya masalah keduniaan melainkan sampai tujuan akhir yaitu keakhiratan. Santri juga bisa dikatakan penjelajah intelektual yang kritis karena mereka terbiasa belajar mandiri, berdiskusi, meresume, hingga mengulang pelajaran agar melatih santri berpikir kritis dan analisis. Di samping itu sikap toleran terus saja mengalir dalam diri santri. Dalam melihat, memahami, lalu menghukumi sesuatu santri memiliki kesadaran diri bahwa sesungguhnya setiap orang tidak memiliki hak mengatakan yang paling benar seperti sikap toleran santri berupa akhlak terpuji dalam pergaulan, saling menghargai antar sesama manusia sebagai wujud laku lampah sehari–hari artinya, jika ada santri ekstrim dan tidak toleran ia telah mengabaikan ajaran substantif dari nilai-nilai dasar pesantren.
Penguat keberadaan santri untuk menjunjung tinggi pengembangan diri perlu bimbingan tersendiri. Santri bukan hanya menguasai kitab-kitab kuning saja tapi juga mampu bertahan dan memberikan warna tersendiri dalam berbagai sektor kehidupan. Santri meski mempunyai bidang pengetahuan “keahlian dunia” sehingga tidak mudah terjerumus oleh isu-isu murahan (hoaks). Semua kemajuan dan perubahan pada saat ini tidak membawa masalah yang kecil tetapi juga merambat menjadi masalah yang besar sampai-sampai mengkhawatirkan banyak pihak yang bersangkutan. Aksi kejahatan ataupun ancaman yang datang dari luar maupun dalam memberikan sejumlah prospek supaya bisa terealisasikan dengan baik. Oleh sebab itu, kehadiran generasi millenial yang berkualitas bisa dijadikan ciri khas dalam usaha pembangunan.
Untuk menyelaraskan sikap yang sesuai dengan perkembangan tanpa harus melebihi kenyataan. Hal yang perlu dikembangkan ditingkat awal yaitu pengembangan kelembagaan pesantren untuk menciptakan santri yang sesuai dengan kultural kompetensi. Tugas ini tidak hanya dibebankan pada pesantren saja melainkan seluruh elemen masyarakat khususnya orang tua, guru, dan tokoh masyarakat untuk terus mengingatkan kepada pemuda (santri) tentang perannya mengabdikan diri agar berpengaruh baik pada sesamanya. Sehingga terwujud generasi yang terealisasi secara sempurna sebagai alat pembentukan moral dalam konteks nasional ataupun mampu menjawab tantangan–tantangan global. Dengan ini santri dapat dijadikan sebagai sosok mansia dengan motivasi, jiwa kepemimpinan, akhlak, serta intelektual yang tinggi.

(Juara 1 lomba artikel remaja eks karisedenan Pati di TBS Kudus pada Maret 2018)

info:
Karisma Lutfiana Nurul Fadila, siswi kelas XI E IPA MA Salafiyah Kajen, dalam penulisan artikel ini dibimbing oleh ibu Widya Lestari, MM

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *