Oleh: Juwari
Dalam bukunya yang berjudul Nasionalisme: Arti dan Sejarahnya, Hans Kohn, mendefinisikan nasionalisme sebagai suatu paham, yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara – kebangsaan. Namun, sebagaimana yang ditekankan oleh Cak Nur (2004: 32), perlu diberikan kualifikasi “modern” pada nasionalisme, bahkan untuk Indonesia diletakkan dalam bingkai perikemanusiaan yang adil dan beradab. Sebab, nasionalisme “kuno”, seperti yang banyak dikhawatirkan orang, adalah eksistensi faham kesukuan atau tribalisme yang sempit dan sewenang – wenang terhadap suku lain. Sebaliknya, nasionalisme modern adalah faham tentang hak bagi suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, sehingga faham ini anti dengan imperalisme dan konsisten dengan prinsip – prinsip demokrasi,
Pemahaman mengenai pengertian negara – bangsa (nation – state) secara benar merupakan hal yang penting bagi umat Islam. Madjid (2004: 42) mendefinisikan negara – bangsa sebagai suatu gagasan tentang negara yang didirikan untuk seluruh bangsa. oleh karena itu, negara – bangsa adalah negara bagi seluruh umat, yang didirikan berdasarkan kesepakatan bersama yang di dalamnya terjadi hubungan kontraktual dan transaksional secara terbuka dari seluruh pihak yang menyepakati. Tujuan dari negara – bangsa adalah mewujudkan kemaslahatan umum (al-maslahah al-ammah), yaitu suatu kondisi yang aman, tentram dan makmur yang dapat dirasakan oleh semua warganya tanpa terkecuali.
Semangat nasionalisme memuat nilai – nilai yang sejalan (compatible) dengan semangat ajaran Islam karena sebenarnya Rosullulah SAW sendiri telah memberikan contoh tentang bagaimana membingkai sebuah kehidupan dalam keberagaman di kota Madinah melalui kesepakatan yang terkenal dengan nama Piagam Madinah 1430 – an abad yang lalu. Pada waktu itu Madinah merupakan sebuah kota yang dihuni oleh masyarakat dari berbagai suku, baik itu yang berasal dari bangsa Arab maupun Yahudi dengan berbagai kepercayaan yang dianut. Sebelum kedatangan Rosulullah Muhammad SAW, kota yang dahulu bernama Yatsrib tersebut sering dilanda konflik horizontal antarsuku bangsa yang tinggal di sana.
Kehadiran Rosulullah ke Madinah telah mengubah keadaan kota tersebut yang semula masih sering terjadi perselisihan yang berbau etnis maupun agama, menjadi kota dengan masyarakat plural yang saling hidup berdampingan dengan damai. Oleh karena itu Robert N. Bellah dalam (Madjid, 2004: 42), salah seorang sosiolog terkemuka, menyebutkan bahwa contoh pertama nasionalisme modern adalah sistem yang diterapkan pada kota Madinah pada masa Rosulullah dan para khalifah yang menggantikannya. Sehingga wajar jika banyak para sejarawan dunia menilai bahwa apa yang telah dilakukan Rosulullah itu merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa dalam sejarah peradaban umat manusia.
Dalam konteks Indonesia, nasionalisme secara sederhana dapat diartikan sebagai sikap yang menjunjung tinggi nilai – nilai Pancasila, UUD 1945, dan hukum konstitusionals lainnya sebagai landasan kehidupan berbangsa, serta menyetujui NKRI sebagai final concept negara ini. Dengan begitu nasionalisme atau rasa cinta tanah air akan menjadi alat pengikat batin bagi seluruh elemen bangsa yang, sudah ditakdirkan, terfragmentasi ke dalam berbagai budaya, suku, agama, bahasa, dan lain sebagainya. sehingga pada akhirnya, nasionalisme membantu menciptakan kestabilan kehidupan berbangsa dengan kesadaran dari masyarakat untuk hidup berdampingan secara toleran dan saling menghargai satu sama lain.
Sebagai bagian dari bangsa ini, pesantren—yang oleh Gus Dur disebut sebagai sub-kultur tersendiri—dalam sejarahnya selalu konsisten dengan sikap nasionalismenya. Salah satu wujud rasa cinta tanah air itu terimplementasi melalui perjuangan yang gigih melawan kolonialisme Belanda dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pada waktu itu, selain berperan sebagai basis edukasi bagi masyarakat, khususnya pedesaan, pesantren juga berperan sebagai basis perlawanan terhadap bangsa kolonial. Dengan slogan jihad fi sabilillah para ulama’ pesantren menjadi motor penggerak perjuangan, bersama – sama dengan rakyat berperang melawan belanda dan sekutunya. Oleh karena itu, muncul sederet nama pahlawan yang notabene berasal dari lingkungan pesantren, misalnya K.H. Hasyim Asy’ari dan lain sebagainya.
Puncak dari jiwa nasionalisme yang ditunjukkan oleh para ulama’ the founding fathers negara ini yaitu saat disepakatinya pengggantian tujuh kata dalam Sila pertama Piagam Jakarta, yang semula berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tentu saja keputusan ini menimbulkan polemik di kalangan umat Islam (Indonesia) sendiri. Hal ini wajar mengingat bahwa selain sebagai umat mayoritas, dalam sejarahnya umat Islam memang mempunyai peran paling besar dalam memerdekakan bangsa ini. Akan tetapi, untuk menghindari terjadinya disintegrasi, para ulama’ pada waktu itu melihat bahwa aspek persatuan bangsa ini merupakan hal yang lebih penting demi mewujudkan kehidupan bersama yang lebih baik. Kondisi realitas bangsa ini sebagai bangsa dengan fragmentasi berbagi suku, budaya, serta agama menjadi pertimbangan utamanya.
Bagaimana dengan sekarang?
Berbagai aksi terorisme oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam dengan dalih “jihad fi sabilliah” (menurut tafsiran mereka sendiri) yang terjadi di Indonesia dewasa ini sangatlah patut disayangkan. Islam yang sebenarnya mengajarkan nilai – nilai kasih sayang, welas asih, toleransi, serta cinta damai harus tercoreng dengan tindakan tidak bertanggung jawab semacam itu. Tindakan – tindakan terorisme ini salah satunya disebabkan oleh salah penafsiran mengenai ayat – ayat Al-Qur’an, khususnya yang menyangkut masalah jihad.
Untuk itulah, pesantren yang menurut pendataan oleh Kementerian Agama RI Tahun Ajaran 2011-2012 telah mencapai jumlah 27.230 buah dengan 3.759.198 orang santri yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia (pendis.kemenag.go.id) harus mampu menjadi garda terdepan dalam mengajarkan nilai – nilai Islam “yang sebenarnya”. Pesantren dengan jutaan santrinya diharapkan mampu menunjukkan eksistensinya dengan turut serta membumikan ajaran serta nilai-nilai Islam yang welas asih, toleran, serta cinta damai ke seluruh penjuru bumi pertiwi, bahkan ke seluruh penjuru dunia.
Lebih dari itu, sebagai bagian dari bangsa Indonesia tentunya santri serta pesantren tidak bisa menutup mata atas berbagai krisis multidimensi yang melanda negeri ini. Tidak hanya dalam hal masalah agama (baca: doktrinal) saja, namun problematika yang terkait dengan isu sosial – ekonomi, edukasi, budaya, dan aspek-aspek kehidupan lainnya seharusnya juga tak luput dari perhatian. Walaupun negara ini telah mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1945 yang lalu, namun kenyataanya bangsa ini masih dalam belenggu keterjajahan. Tentara serdadu Belanda dan Jepang memang sudah hengkang dari bumi pertiwi, namun imperialisme dengan wujud baru bernama neo-liberalisme masih terus berlanjut. Neo-liberalisme adalah penjajahan sistemik dan terorganisir melalui aktivitas kehidupan manusia yang mencakup bidang agama, ekonomi, budaya, sosial, dan politik menyebabkan hilangnya nilai – nilai etis dan moralitas (Majalah SANTRI Edisi 3, 2011). Betapa tidak, dalam hal budaya misalnya, bagaimana secara tidak sadar bangsa kita terus dijejali secara masif oleh budaya barat melalui film-film Holliwood, iklan, serta produk media lainnya. Dampaknya, segala gaya hidup, cara pandang, sampai gaya berpakaian masyarakat kita “taklid buta” dengan masyakat barat yang serba permisif dan liberal.
Oleh karena itu, dengan segala potensinya, alangkah luar biasa jika pesantren tak hanya mampu melahirkan para ulama, namun juga para pengusaha, Guru Besar, dokter, Duta Besar, pemilik media massa, serta peran – peran lain di berbagai sektor kehidupan. Dengan begitu, pesantren dan santri tidak hanya menjadi penonton dalam kemajuan peradaban, namun turut berkontribusi dalam upaya meningkatkan kualitas hidup berbangsa. Keduanya mampu menemukan kontekstualisasinya dalam membangun serta mengarahkan kehidupan masyarakat Indonesia menjadi bangsa yang religus, santun dan berkualitas.
Wallahu a’lam bisshowab.