Situs Resmi Yayasan Salafiyah Kajen

PAK HUSAIN DAN DEFISIT GURU FAVORIT

Oleh: Helmi Mustofa

(Alumni MTs Salafiyah Lulusan 1993, bisa disapa di fb. Helmi Jogja)

Biarpun ada yang berkata sekolah itu candu, hal itu tidak lalu membuat saya menyesal telah menghabiskan usia belasan tahun saya dengan mengenyam pendidikan di sekolah. Banyak peristiwa menyenangkan di sana yang masih terekam baik dalam ingatan. Masa bersekolah pada jenjang pendidikan menengah adalah masa ketika jiwa-jiwa remaja sedang mekar dan berkembang. Teringat bagaimana saya beserta teman-teman bareng-bareng mojok di kantin, ngrumpi, ngegosip sambil ngemil jajanan pada jam istirahat. Atau ketika kami riuh dan gaduh di dalam kelas manakala guru yang akan menyampaikan pelajaran belum masuk ke ruangan, dan seketika senyap ketika guru tersebut sudah masuk kelas, mengambil buku dari tasnya, dan memulai pelajaran. Atau ketika kami aktif di organisasi siswa yang rapat-rapatnya kadang tak kalah seru di banding rapat-rapat lembaga politik saat ini.

Sekolah adalah salah satu lingkungan awal tempat saya bersosialisasi dengan orang lain. Lagu legendaris, yang juga saya suka, “Kisah Kasih di Sekolah”-nya Obbie Messakh adalah contoh lain dari pengalaman mengesankan di sekolah, walaupun saya sendiri seingat saya belum pernah mengalami kisah-kasih di sekolah itu. Di luar itu semua, ada satu lagi fenomena mengesankan lain yang menurut saya penting tatkala kita mau membincang pendidikan.

Fenomena itu bernama: guru favorit. Salah satu guru favarit saya pada waktu belajar di sekolah menengah pertama bernama Pak Husain. Beliau mengajar tata bahasa Arab atau Nahwu. Tidak main-main, kitab daras yang diajarkannya adalah kitab klasik-induk Alfiyah Ibnu Malik yang berisi seribu bait bertorehkan kaidah-kaidah gramatika bahasa Arab. Beliau hafal keseluruhannya. Setiap kali mengajar beliau tidak pernah membawa buku atau kitab tersebut. Beliau sangat nglothok di luar kepala apa-apa yang akan disampaikan di hadapan kami. Dengan mengenakan peci hitam agak miring, kedua pelipisnya cekung, kedua pipinya agak kempot, mungkin kebanyakan menghisap cerutu, dan termasuk jarang bercanda, lengkap sudah gambaran bahwa beliau adalah orang yang mumpuni dan menguasai bidang keilmuannya, plus penuh dedikasi dan wibawa.

Sesekali di sela-sela penyampaiannya, beliau menyelipkan pesan-pesan moral kepada kami, entah seputar tata krama, falsafah hidup, atau ihwal pendidikan itu sendiri. Tanpa ada kesan menggurui. Saya sangat terkesan dengan pembawaannya, sekalipun karena itu saya segan untuk berani mendekat kepada beliau. Hal lain yang saya suka adalah tulisan tangan beliau di papan tulis. Sangat rapi, dengan tipografi font yang bagus, apalagi itu tulisan huruf Arab, yang barangkali tidak mudah bagi kita yang terbiasa dengan abjad Latin.

Saya membayangkan–dan pernah membuktikan sendiri–yang namanya menulis dengan kapur di papan tulis itu sangatlah tidaklah gampang, karena penampang kapur itu selalu berubah karena luruh begitu dipakai menulis, sehingga ujung kapur tersebut tidak pasti bentuknya jika kita sendiri tidak mengendalikan atau membentuknya. Suatu hal yang berbeda dengan kalau kita menggunakan ballpoint atau ballpoint kaligrafi yang sudah didesain sedemikian rupa sehingga memudahkan orang dalam membentuk tebal-tipisnya huruf dan tak perlu direpotkan oleh tidak menentunya kemiringan ujung pena tersebut.

Hampir semua guru saya waktu itu memiliki tulisan tangan yang rapi dan berkarakter, sesuatu yang hingga saat ini saya pun belum memilikinya. Bahkan pada kasus Pak Husain saya melihat lebih jauh lagi. Entah disengaja atau tidak, saya merasa huruf pertama yang dijatuhkan di papan tulis itu selalu tepat posisinya. Itu terlihat dari ruang-ruang sisanya setelah beliau menggoreskan sekian kalimat. Sisa ruang itu pasti pas untuk kebutuhan tulisan beliau selanjutnya, begitu rupa hingga kata terakhir di papan tulis itu juga pas.

Begitu penuh, papan tulis yang dipadati dan dipenuhi tulisan tangan beliau itu terlihat oleh mata saya sebagai suatu visualitas yang indah dan apik, dan ini yang paling penting: papan tulis yang penuh tulisan itu betul-betul mencerminkan adanya proses penyampaian pengetahuan. Papan tulis itu benar-benar menjadi bukti pendidikan. Bukti di mana seorang guru telah mengantarkan muridnya melangkah pada pengetahuan lebih lanjut. Dan, merupakan suatu pemandangan yang indah tatkala bersamaan dengan beliau menulis itu luruhlah kapur itu, akibat gesekannya dengan permukaan papan tulis, bagai debu yang jatuh ke bumi. Dan, di balik setiap luruhan kapur itu saya menghirup rohani pendidikan. Saya merasakan menuntut ilmu itu membutuhkan totalitas sebagaimana totalitas Pak Husain di dalam mendidik atau mengajar kami.

Masih soal tulisan tangan, jauh di kemudian hari saya mendengar, salah satu terapi yang diberikan kepada anak-anak yang memiliki “masalah” khusus dalam hal ketenangan atau kesabaran, mungkin juga soal konsentrasi, adalah mereka dilatih untuk menulis-tangan secara rapi. Menulis-tangan menjadi salah satu bentuk terapi. Rasa-rasanya sekarang ini sudah semakin jarang remaja-remaja kita yang punya kebiasaan atau tradisi menulis-tangan dalam hitungan beberapa lembar kertas saja, karena semuanya sudah dikerjakan menggunakan komputer atau laptop.

Jika menulis-tangan dapat dipakai sebagai suatu terapi bagi masalah-masalah emosional, sepertinya tidak berlebihan bila saya sedikit berasumsi orang-orang seperti Pak Husain adalah pribadi-pribadi yang memiliki kemampuan emosional yang cukup baik. Jika tidak, kiranya beliau tentu tak mampu membawakan pelajaran dengan begitu matang dan piawai.

***

Beberapa hari lalu saya kedatangan seorang kawan, seorang guru. Entah bagaimana ceritanya, ia meminta saya sharing soal pendidikan karakter. Dia akan menyusun sebuah modul berisikan bagaimana pendidikan karakter dijalankan atau diimplementasikan. Agar mendapat masukan yang beragam, dia bermaksud menggali kepada sebanyak orang tentang persepsi orang mengenai pendidikan karakter ini. Sudah saya katakan kalau saya tak banyak tahu tentang tema itu apalagi saya bukan praktisi pendidikan. Tetapi dia tegaskan gak papa sepanjang yang mampu saya pahami saja. Baiklah.

Saya pun merespons sesuai kemampuan awam saya. Sejumlah poin telah saya utarakan. Tetapi masih ada hal yang belum saya ceritakan padanya. Yaitu: ketika dia bilang pendidikan karakter, pikiran saya langsung tertuju kepada sosok Pak Husain. Pak Husain mungkin tak pernah berbicara tentang pendidikan karakter, mungkin tidak pernah mendapatkan modul tentang itu, mungkin juga tidak pernah mengikuti pelatihan berbagai macam jenis kecerdasan, tetapi beliau mampu memperlihatkan karakter-karakter yang kuat di hadapan murid-muridnya melalui penguasaan ilmunya, sisipan pesan-pesan beliau saat mengajar, melalui tulisan-tulisannya di papan tulis, lewat sorot matanya, dan melalui apa saja yg melekat pada dirinya.

Pak Husain menjalankan apa yg sekarang kalangan pendidikan sebut sebagai hidden curriculum. Ketika kini pendidikan nasional tengah ramai mewacanakan pendidikan karakter, terbetik oleh saya seyogyanya memang “harus diperbanyak” lahirnya figur-figur seperti Pak Husain. Dengan kata lain, perbanyaklah guru-guru favorit. (Lebih tegas lagi: jadilah guru favorit). Janganlah sampai terjadi defisit guru favorit. Masalahnya sekarang, dengan meningkat dan bersaingnya kualifikasi untuk menjadi guru pada masa sekarang (ditambah ada sertifikasi juga), apakah itu berbanding lurus dengan lahirnya Pak Husain-Pak Husain baru di era sekarang? Terlepas seperti apa jawabnya, sampai saat ini saya sendiri selalu bersyukur pernah bertemu dan mendapatkan pendidikan dari Pak Husain salah satu guru favorit saya itu dengan luruhan kapurnya yang senantiasa membekas di hati saya. [Yk, 26-5-11]

Alumni MTs Salafiyah Lulusan 1993, bisa disapa di fb. Helmi Jogja

helmi jogja

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 thoughts on “PAK HUSAIN DAN DEFISIT GURU FAVORIT”