Situs Resmi Yayasan Salafiyah Kajen

Santri: Melek Wengi

Kata “santri” tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita. Jika kita menilik dengan saksama, kata santri berarti orang yang menuntut ilmu dan melakukan aktivitas hidup lain di lingkungan pesantren. Biasanya, jumlah santri di sebuah pesantren begitu banyak. Dengan jumlah yang banyak itu, pihak pesantren akan menempatkan mereka secara berkelompok dalam kamar-kamar yang telah ditentukan. Kondisi ini membuat santri menjadi lebih gemar bersosialisasi dengan santri lain.

Kebiasaan bersosialisasi merupakan hal yang baik. Hal itu mengajarkan kepada santri untuk mengenal kultur masyarakat kita yang suka dan hobi bersosialisasi. Namun, jangan sampai sosialisme santri itu mengarah ke hal yang negatif, seperti berprasangka buruk. Apalagi jika itu dilakukan mereka sampai larut malam atau malahan sampai menjelang subuh.

Mungkinkah kaum santri salah persepsi tentang pengajian ustadz dan kyai lewat pelantang saat mengaji di pesantren? Tentang sebuah nasihat ‘Wong kang pengen ngalim ilmu kudu wani melek wengi’. Pada akhirnya mereka dengan bangga berlatih melek wengi. Semua santri baik santri baru dan lama, semakin gemar melaksanakan ritual melek wengi sesuai dengan apa yang mereka yakini. Ada yang gemar diskusi tentang perempuan, ada pula tentang bagaimana cara membully santri lain saat tidur, juga tentang menu makan tempe baceman (baca: semur). Semua itu bahkan jauh melenceng dari kewajiban belajar dan diskusi masalah (batsul masa’il). Apalagi mereka berpikir tentang bagaimana kiat menjadi orang sukses. Sangat jauh daripada itu. Kalo begitu, mau sampai kapan hal demikian itu berlangsung? Dan apa yang akan mereka bawa saat pulang ke masyarakat nanti.

Baik, kita perlu membahas lebih lanjut soal melek wengi yang sedang viral di kalangan santri, serta usaha-usaha memperbaiki persepsi sekaligus penerapan santri soal melek wengi. Namun, usaha-usaha itu tentu akan menghadapi tantangan yang berat di era digital ini. Mereka cenderung memanfaatkan waktu malam untuk hal yang mengarah kemudhorotan. Apalagi jika telah memasuki dunia yang serba canggih dan modern seperti ini. Seluruh warganet terlebih santri, jika tidak mampu memfilter segala informasi akan turut serta mengikuti tren ke arah negatifitas. Waktu malam yang mereka dapatkan hanya akan menghasilkan pelajaran yang nol-manfaat. Para ustadz atau kyai yang mengajar harus kian waspada dan memantapkan niat para santri, menanamkan nilai-nilai yang baik, dan memberikan persepsi yang bijak sehingga para penuntut ilmu itu tetap istiqomah di atas marwah kesantrian; menjadi santri yang mendapatkan ilmu yang berkah dan manfaat.

Sementara itu, banyak pula kita jumpai para santri dalam kelas-kelas formal yang menghabiskan waktunya untuk tidur. Inilah dampak ritual yang mereka lakukan saban malam. Hal ini pun kadang dengan bangga mereka sebut ‘ngibadah’. Mungkinkah kalian termasuk di dalamnya? Memang benar! Tidur yang bernilai ibadah apabila dilakukan saat kita berpuasa. Saat kita berpuasa lho ya! Terus kalau tidak berpuasa apa iya? Ngarang!!! Begitu pula melek wengi, akan lebih bermanfaat jika dilakukan untuk belajar, diskusi, dan beribadah. Itulah sebenar-benarnya yang dimaksud ustadz dan kyai. Jika kita tetap berpikir bahwa dampak melek wengi itu tidur pada siang harinya, dan bernilai ibadah . Lebih baik kita tidur saja selamanya, dan sekalian tidak usah bangun. Biar kalian menjadi ahli ibadah yang hakiki.[]

(MR/Essay/MTs-SLF)

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *