Situs Resmi Yayasan Salafiyah Kajen

Surat Kecil Senandung Rindu

Oleh : Laila Najmi

Siang itu matahari bersinar sangat cerah, secerah hati kedua gadis saudara seepupu ini., Chanin dan Azila namanya. Keduanya begitu bahagia tatkala mengenang masa-masa kecil mereka yang penuh warna. Meski usia Azila 5 tahun lebih tua dari Chanin, tapi itu semua taak pernah menghalangi mereka untuk melangkah bersama, mulai dari jalan jalan-jalan, shopping, request ke radio sampai mandi. Tiba-tiba saja Azila merintih kesakitan sambil memegang dadanya.

“ Kak Zila kenapa?” tanya Chanin.

“ Dadaku sakit nin…,”

“ Ya udah, aku anter ke kamar ya kak..,”

            Tanpa menjawab pernyataan dari Chanin, Zila pun langsung menggenggam erat uluran tangan Chanin. Setibanya di kamar, Zila langsung istirahat ditemani oleh sang bunda tercinta. Beberapa menit kemudian dokter pun datang untuk memeriksa Azila.

“Sepertinya penyakit jantung putrid bapak kambuh lagi,” kata dokter kepada pak Aziz, ayah Azila.

“Kambuh lagi dok?” tanya pak Aziz. Dokter  menganggukan kepala, dan pak Aziz hanya diam seribu bahasa.

“ Saya permisi dulu pak,” kata dokter Syamsul memecahkan lamunan pak Aziz.

“ Ohh.. iya dok, terimakasih.”

            Semenjak umur 2 tahun, Azila memang sudah menderitaa penyakit jantung koroner. Saat itu dokter bilang bahwa Azila hanya mampu bertahan sampai ia berumur 10 tahun. Tapi Alhamdulillah Allah masih memperkenankan Azila untuk di dunia sampai saat ini. Dan kini usia Azila 18 tahun, penyakit itu datang lagi seolah menghantui Azila. Beberapa saat kemudian Azila membuka matanya. Ia lihat orang-orang di sekelilingnya, ada Ibu, Ayah, dan juga Chanin. Tiba-tiba Azila tersentak kaget ketika ia melihat hari sudah beranjak malam.

“Astaghfirullah jam berapa ini Nin?” tanyanya pada Chanin.

“Jam 6 kak,”

“Aduh Nin.., kita kan harus berjanjenan.”

“Kak Zila jangan pergi dulu, kan lagi sakit. Biar aku aja nanti yang mimpin sholawatannya.”

“ Tapi Nin…” kata Zila ngotot.

“Sudahlah nduk, kamu di rumah saja. Kamu kan lagi sakit.” Kata Ayah Zila.

“ Tapi Ayah…,”

“ Ya sudah begini saja, kamu berjanjenan di rumah saja sama ibu,” saran Ibu Azila.

“ Ya udah lah..” kata Azila pasrah.

            Dari kecil Azila aktif dalam acara-acara keagamaan dan organisasi-organisasi masyarakat. Putri sulung dari kyai ternama di desa Waringin-Pati itu tak pernah absen untuk kegiatan berjanjenan malam jumat. Suaranya yang lembut membuatnya terdaulat sebagai pemimpin sholawatan dan vokalis rebana.

Azila pun mulai membuka lembar demi lembar kitab Al barzanjinya. Dan mulailah ia melantunkan sholawat atas kanjeng Nabi Muhammad, mulutnya begitu fasih dalam melantunkan barisan-barisan sholawat “ya Nabi salam”

v

            2 bulan sudah Azila terbaring di tempat tidur. Semakin hari keadaan Azila pun semakin parah. Tubuhnya mulai bengkak. Kedua orang tuanya pun semakin bingung dengan kondisi Azila.

            Mereka akhirnya memanggil tabib untuk menyembuhkan putri sulungnya. Betapa terkejutnya mereka saat mendengar omongan tabib susuai melihat keadaan Azila.

“ Maaf Pak, Bu di dalam tubuh anak Bapak dan Ibu ada sesosok makhluk perempuan yang tepatnya ada di telapak tangaan Azila yang sebelah kiri.” Tutur tabib.

“ Astaghfirullahaladzim…” ucap ibu Azila seraya mengelus dadanya dan dengan air mata yang mulai mengalir di pipinya.

“ Tapi dari mana asalnya makhluk itu Bib, kenapa ia harus bersemayam dalam tubuh putri saya?” tanya bapak Azila .

“ Saya kurang tau Pak, tapi ketika saya komunikasi dengan makhluk itu, ia menjawab rumahnya di pohon randu yang ada di pojok desa sana.

“ Lalu apa yang harus kami lakukan?”

“ Makhluk itu datang disaat maghrib menjelang, maka dari itu baca saja do’a Qulhu Gheni dan surah An-Nas 13x. InsyaAllah nanti akan lebih baik, dan dia akan segera pergi dari tubuh anak bapak.”

“ Baiklah..”

“ Kalau panjenengan pengen bisa melihat makhluk itu, Bapak bisa menjalani mutih selama 40 hari.”

“ Iya terima kasih, Bib,”

“ ya sudah, saya permisi dulu Pak, Assalamualaikum.”

“ Waalaikum salam..”

            Maghrib mulai menjelang, Ibu Azila duduk di samping Azila yang tengah tertidur pulas. Sang ibu tak henti-hentinya melafalkan asma-asma Allah bersama butiran-butiran tasbih yang ada di tangannya. Sudah 3 hari ini beliau menjalani puasa mutih. Tiba-tiba saja mata Azila terbuka, Ibunya dan Chanin tersentak kaget melihat tatapan tajam Azila.

“ Kalian siapa?” Kata Zila dengan suara parau.

Ibunya dan Chanin tambah kaget tatkala mendengar suara yang didengarnya bukan suara lembut Azila. Ibunya pun menyuruh Chanin untuk memanggil ayah Azila yang hendak mengimami sholat maghrib di masjid depan rumah. Selang beberapa menit, sang ayah pun datang bersama kakak laki-laki Azila yang bernama telapak tangannya.

“ Saya tidak akan marah sama kamu, jika kamu mau memberitahukan namamu.”

“ Aku lupa..” kata makhluk itu lembut.

“ Bohong..!” bentak kak Irham lagi.

“ Jangan marahin aku mas,” jeritnya makhluk halus itu.

“ Rumahmu mana?”

“ Pojok sana,” sambil menunjuk Irham.

“ Kamu siapa?” bentak kak Irham.

“ Jangan marahin saya mas?” Kata makhluk itu sambil menutup wajahnya dengan keedua

kearah selatan.

“ Sekarang kamu pergi dari tubuh adik saya, kasihan dia.”

“ Saya tahu mas, sebelum saya pergi saya mau minta singkong bakar.”

“ Ga ada.”

“ Ya sudah, saya akan disini terus.”

Irham pun menyuruh Chanin untuk membakar singkong. Dan beberapa menit kemudian, singkongnya pun sudah matang dan di berikan ke Azila.

“ Kenapa gak dimakan?” tanya Irham.

“ Udah kok mas.”

“ Habisin dan segera pergi dari sini.”

“ Kalau kamu nggak pergi juga, aku akan mukul kamu dengan ini.” Kata Irham dengan menunjukkan beberapa tangkai daun randu.

Sesaat kemudian Azila memejamkan matanya lagi.

v

                5 bulan sudah Azila hanya berbaring di tempat tidur dengan kondisi yang semakin parah. Hari-harinya ia lalui dengan membaca Al-Barzanji dan bercerita bersama Chanin. Seperti halnya pagi ini, ia baca barisan-barisan Al-Barzanji sebelum akhirnya tertidur pulas.

            Pada saat tertidur tiba-tiba ia mengadahkan tangannya. Sang Ayah menemani tidurnya sgera menarik tangan Azila dan menurunkannya.

Dengan mata yang masih terpejam ia pun berkata pada ayahnya.

“ Ayah tolong ambilkan kitab Al-Barzanji ku.”

Sang ayah pun beranjak dari tempat duduknya  dan segera mengambilkan kitab Al-Barzanji milik Azila.

“ Ini nak,.” Kata sang ayah serayaa  memberikan kitabnya pada Azila.

            Dengan mata yang masi terpejam, ia buka kitab itu. Dan hanya sekali buka, ia langsung mendapatkan halaman yang tepat. Sang Ayah pun tak kuasa meneteskan air mata. Dan Ibunya yang baru masuk kamar langsung mendekati Azila dan ikut bersalawat bersama dengan deraian air mata.

            Tak berapa lama, Azila membuka matanya. Ada aroma bahagia dan sedih di raut wajahnya.

“ Ayah, Ibu, tadi aku mimpi..”

“ Mimpi apa sayang,” kata sang Ibu cemas.

“ Aku mimpi, aku berada di tempat yang sangat indah, dan aku bertemu dengan seorang yang berpakaian serba putih.”

“ Apa kamu bicara dangan orang itu nduk?”

“ Aku bertanya siapa dia, dan dia menjawab bahwa ia Rasulullah Muhammad.”

Tanpa berkata, Ayah dan Ibu Azila meneteskan air mata dengan tubuh  gemetar.

“ Beliau sangat wangi Bu, dan beliau memberiku tasbih, tapi ketika aku menerimanya, tiba-tiba ayah menarik tanganku. Dan ketika itu pula beliau pergi.”

Ayah dan Ibu memeluk lemah Azila dengan deraian air mata.

v

                Hari ini tanggal 9 Juli 2006. Semakin hari kondisi Azila semakin parah. Dokter menyarankan agar Azila dibawa ke RS. Dr. Karyadi Semarang. Tapi keluarga Azila memilih untuk jalani pengobatan tradisional. Hampir 10 tabib yang sudah mengobati Azila, tapi semuanya nihil, kondisi Azila tetap tidak ada perubahan.

“ Ayah, Ibu, jika memang Zila harus dibawa kerumah sakit, Zila mau Yah.. asal Zila bisa sembuh.”  Kata Zila dengan lemah.

Melihat kondisi Azila yang seperti itu, orang tua Azila tak bisa berbuat apa-apa.

“  Besok Selasa saja ya nduk, kalau masmu bawa mobil ke rumah.’

“ Zila nggak mau Yah, Zila mau sekarang, biar Zila cepat sembuh dan bisa ikut berjanjenan lagi.” Rintih Azila

            Ayah, Ibu dan keluarga Azila yang lain pun bermusyawarah. Dan akhirnya hari ini juga Azila dibawa ke RS. Karyadi. Kurang lebih 3 jam perjalanan dan akhirnya sampai di rumah sakit. Di sana ia langsung ditempatkan di ruang ICU.

v

                Sudah 3 hari Azila berada di ruang ICU. Dan pagi ini, Senin 11 Juli 2006 kondisinya berangsur membaik.

“ Ibu, tolong ambilkan pena dan kertas,” pinta Zila pada sang ibu

“ Untuk apa Nduk?”

“ Zila mau menulis sesuatu,”

Ibunya pun mengambilkan pena dan secarik kertas, lalu memberikannya pada Azila. Dan mulailah ia untuk menulis,

“ Wahai Nabi Allah pelita hatiQ

   Engkau cahaya menerangi kelam dunia

   Engkau pelita bagi jiwa-jiwa yang gelap

   Engkau kekasih yang di damba setiap wajah

   Penerang jiwa cahaya mataku

   Biarkan air mata ini mengalir

   Karena rindu ini menggigit sukma

   Biarkan air mata ini mengalir

   Karena rindu ini mendiami seluruh raga

   Berdenyut mengikuti irama denyut jantung

   Mengalir bersama darah

   Mengembara diantara saraf & otak

   Biarkan aku memanggilmu

   Mengingatmu dalam segala benakQ

   Biarkan aku larut bersama cintamu

   HaruQ senantiasa jika mengingatmu

   Mengalir air mata ini satu-satu

   cintaQ tak sebesar cintamu kepada umatmu

   Aku hanya sebutir debu

   Aku hanya seberkas bayangaan

   Aku hanya seonggok hati

   Aku hanya secuil rasa yang menanti tetes cintamu

   Ulurkan jemarimu,

   Genggam aku

   Dalam balutan kasih dan rindu “

Setelah itu Azila melipat suratnya dengan rapi.

“ ini surat buat siapa, Nduk?”  tanya sang ibu penasaran.

“ini surat buat Kanjeng Nabi, Bu’.” Jawabnya santai.

Sang ibu mengerutkan dahinya, ia merasa ada hal aneh pada putrinya.

v

Rencananya siang ini, Zila akan menjalani operasi jantung. Sebelum dibawa ke ruang operasi sang ibu terlebih dahulu menyuapi Azila. Tapi makanan itu sama sekali tak dimakan Zila.

“ Makanlah dulu nduk…,kamu kan mau operasi.” bujuk sang ibu dengan lembut.

Azila tetap menggelengkan kepala.

“ ayolah Nduk..,sedikit saja..” bujuk sang ibu lagi.

“ Aku nggak mau, Bu!!” bentak Azila.

Keduanya pun terdiam.

Suasana berubah menjadi hening. Hanya terdengar detakan jarum jam di sisi tembok sebelah utara.

“Ibu..” Azila mulai bicara dengan mata berkaca-kaca

“Bu, maafkan Zila ya, mungkin kata-kata Zila selama ini telah membuat banyak goresan di hati ibu. Sampaikan salam Zila pada semuanya, pada ayah, kak Irham, dan juga Chanin,” Kata Zila dengan derai air mata.

Beberapa saat kemudian, 2 orang suster tengah siap untuk membawa Zila ke ruang operasi.

“Ibu, jaga diri baik-baik disini. Ibu jangan sedih, Zila pasti baik-baik saja di tempat yang Zila tuju. Ibu jangan pernah meneteskan air mata lagi untuk Zila. Zila ingin Ibu tersenyum di dunia ini tanpa Zila,.” Kata Zila terbata-bata. Sang ibu banyak menggelengkan kepala dengan pipi yang penuh derai air mata. Zila mengusap air mata sang ibu dengan lembut.

“ Ibu, jangan nangis, Zila tak akan pergi kemana-mana. Zila hanya ingin memberikan surat senandung rindu ini pada Rosulullah,” katanya dengan senyuman meski di pipinya penuh dengan linangan air mata.

Suster pun membawa Zila ke ruang operasi. Sang ibu mendampinginya dengan air mata yang terus mengalir.

Sementara itu, Chanin di rumah merasakan hal yang aneh. Semalam ia tak bisa tidur, ia mimpi buruk tentaang Zila. Ia terus berdoa untuk kesembuhan Azila. Dan rencananya besok ia akan pergi membesuk Azila. Ia sudah tak sabar ingin mendengar ocehan kakak sepupunya itu.

            Tiba-tiba saja ponsel di saku celananya berdering panggilan dari ibu Azila. Belum sempat ia mengucapkan salam, ia meneteskan air mata, sebelum akhirnya menangis histeris. Irham yang semula di rumah, lari tergopoh-gopoh menuju kerumah Chanin yang berada di sebelah kanan rumahnya.

“ Kamu kenapa nin?” kata Irham seraya menggoncang tubuh Chanin.

“ Kak Zila, mas..” kata Chanin tersedu-sedu

“ Iya, Zila kenapa?” tanya Irham sedikit membentak.

“ Kak Zila pergi ninggalin kita,” kata Chanin diikuti isak tangis yang membuncah.

Irham duduk termangu, tak terasa cairan bening perlahan turun dari matanya.

Innaalillahi wainna ilaihi rojiuun,” ucapnya kemudian.

            Tak berada lama rumah Kyai Aziz sudah dipenuhi orang-orang. Jam 16.00 WIB jenazah sampai di rumah. Banyak orang-orang yang menangis tatkala melihat tubuh Azila terbujur kaku. Chanin perlahan membuka kain jarit yang menutupi wajah Azila. Air matanya kembali turun begitu melihat sosok perempuan dengan wajah yang cantik dengan untaian senyum di bibirnya.

            Seusai sholat maghrib, jenazah azila dikebumikan. Banyak orang- orang yang mengantarkan Azila ke singgasana terakhirnya.

40 hari kemudian…

Tepat dihari ke-40 sepeninggal Azila, Chanin bermimpi. Di dalam mimpinya ia melihat Azila yang tampak ayu dengan pakaian serba putihnya. Azila tersenyum padanya dan melambaikaan tangan kearahnya. Lalu ia pun pergi, terbang dengan kedua sayapnya.

Chanin terbangun dari mimpinya dengan deraaian air mata.

“ Selamat jalan kak, you are to be an angle in the heaven.” Katanya dengan senyum yang mengembang di pipinya yang basah dengan linangan air mata.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *