Berbicara tentang tawadu’, tidak dapat kita dilepaskan dari diri sendiri. Bertawadu’ itu sesuatu yang sangat recomended untuk diri kita sebagai upaya menuntun menjadi pribadi yang santun dan menghargai sesama. Namun, hanya sedikit orang yang memiliki sifat mulia itu.
Kebanyakan manusia jika dihadapkan pada sebuah kedudukan, kepintaran, dan kekayaan, akan hanyut dalam upaya menjaga diri untuk tidak membanggakan yang mereka punyai. Bahkan mereka akan melupakan filosofi padi, semakin banyak isi, semakin pula akan menundukkan diri. Mereka seakan tertutup kabut tebal kemewahan dunia.
Berikut rangkuman wawancara tim redaksi At-Tataqif kepada beberapa santri yang sangat mengedepankan tawadhu sebagai upaya untuk menjadi orang yang lebih baik.
Eka Retno
Seorang siswi kelas VIII MTs Salafiyah yang gemar belajar tentang sejarah, seperti buku-buku sejarah perkembangan lahirnya NU. Ia lebih menyukai diam daripada berbicara yang kurang berfaedah. Pernah juga menjuarai lomba Oskanu Tingkat Provinsi Mapel Olimpiade Ke-NU-An baru-baru ini.
Ia menilai siswa-siswi MTs Salafiyah akan sangat rugi jika hanya membanggakan sesuatu yang sebenarnya hanyalah titipan. Harta, tahta, kecerdasan, golongan, keelokan rupa, merupakan suatu amanah yang tidak untuk dipamerkan.
Fenomena yang sering dia lihat pada remaja sekarang cenderung berbeda. Hanya sejumlah 70 persen yang masih menerapkan sikap tawadu’ pada diri. Seperti saat di sekolah misalnya, mereka biasa pergi gak izin, diberi tugas guru tidak dikerjakan, enggan belajar, mengedepankan sosial media Facebook WhatsApp, serta menunda-nunda pekerjaan mulia.
“Saya teringat dawuh pak Multazam saat pelajaran Aqidah di MI. Saya diminta untuk belajar tawadhu’ kepada siapapun, harus berkembang menjadi orang yang lebih baik , jangan terlalu memamerkan kelebihan/prestasi, kelebihan seharusnya digunakan membantu orang kekurangan. Itulah yang selalu saya ingat dari guru sepuh mapel agama tersebut”, ungkap Eka Retno saat ditemui tim redaksi di perpustakaan MTs.
Fadilla Nur Ain
Seorang siswi kelas VIII yang aktif di organisasi sekolah. Ia menjadi ketua KPPS (semacam osis) di MTs Salafiyah.
Ia juga mempunyai cerita tersendiri dari guru PAI saat SD, Pak Hamid namanya. Pesan yang selalu teringat di benak Fadilla ialah jangan nakal, jadi anak yang baik dan, berguna. “Buatlah huruf khad, jika sabar dan tekun pasti dapat menjadi indah”, ungkap siswi kelas VIII F MTs Salafiyah itu.
Jika ditanya cita-cita sewaktu kecil ialah menjadi guru. Mengapa guru? Guru itu bisa mengamalkan ilmunya serta ilmu yang dimiliki akan barokhah. Itulah yang diinginkan oleh ibunya yang bekerja menjadi TKW di luar negeri. “Saya ingin ibu bangga dengan anaknya yang tidak bisa apa-apa ini”, ungkap Fadilla sembari meneteskan air mata.
Contoh kecil tawadu’ menurutnya adalah rendah hati dan usahakan menunduk saat melewati guru.
99 persen remaja sekarang mempunyai sifat tawadu’ atau dapat dikatakan kurang dari 100 persen karena faktor digitalisasi. “Saya pun sering melihat mereka mengikuti tren-tren gaya sekarang. Saya sebagai teman tidak berani mengingatkan jika menyangkut sifat atau sikap diri sendiri”, ungkapnya.
Ia membeberkan prinsip yang dipegang teguh dari kecil, “Prinsip saya hidup untuk kebaikan akhirat. Menuju keridhoan Allah. Senantiasa mengidolakan Rasulullah. InsyaAllah “.
“Warna hijau itu kesukaan rasulullah.
Puasa senin kamis dan puasa daud itu adalah sebuah upaya cinta terhadap anjuran rasulullah”, jelasnya.
Untuk menumbuhkan sikap tawadhu’, pastilah kita semua mempunyai tingkatan orang-orang yang dihormati. Dari yang paling, sampai yang biasa-biasa. Seperti Fadhilla misalnya seseorang yang paling dihormati di dunia ini dimulai dari orang tua, guru, toleransi dengan berbeda agama, teman, dan keluarga.[] (Essay/At-Tatsqif/MR/Majalah)